Kain Tapis Lampung

 

Kain Tapis Lampung: Sebuah Pengantar

 

Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terbentuknya kain tapis Lampung melalui tahapan dan periodisasi waktu yang panjang. Dalam proses perjalanannya terjadi berbagai penyempurnaan, baik dari aspek teknik dan keterampilan pembuatan, bentuk motif yang diterapkan, dan metode penerapan motif pada kain dasar tapis, menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman.

Perjalanan sejarah perkembangan terbentuknya ragam hias, kain tapis Lampung mendapat berbagai pengaruh kebudayan lain, seiring dengan terjalinnya kontak, interaksi, dan komunikasi masyarakat adat Lampung dengan kebudayaan luar. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan gaya seni hias kain tapis antara lain, kebudayan Dongson dari daratan Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa.

Melalui proses yang panjang, akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama. Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas.

Nilai estetis kain tapis menyatu dalam beberapa azas dan ketentuan, yaitu (1) azas kesatuan organis, (2) azas tema atau konsep, (3) azas keseimbangan, (4) azas bertingkat, (5) azas kerumitan, dan (6) azas kesungguhan.

Kain tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang serupa pusaka keluarga.

Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistem kepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki (matrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepadun tingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh (kampung), (2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang suku yang membawahi beberapa nuwow balak (rumah adat). Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat yang menyesuaikan status sosialnya dalam  masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.

Dalam rentang perjalanannya, kain tapis tidak hanya menunjukkan suatu proses kontinum kelangsungannya, tetapi juga menampakkan terjadinya perubahan dan pengembangan dalam banyak aspek, seperti pada aspek fungsinya kain tapis berubah dari benda sacral yang terkait erat dengan adat dan kepercayaan masyarakat Lampung berubah menjadi benda profan dan sekuler yang berfungsi untuk komoditi pasar. Pada aspek produknya kain tapis tidak hanya berupa kain sarung adat, tetapi sudah mengalami modivikasi dan diversivikasi sehingga tercipta berbagai produk seni kerajinan kain tapis seperti, busana pesta, busana muslim, hiasan dinding, kaligrafi, partisi ruangan, perlengkapan kamar tidur, tas, dompet, kopiah, tempat tisu, dan sebagainya.

Pada aspek bentuk motif yang diterapkan tidak terjadi perubahan frontal, secara umum bentuk motifnya masih sama hanya terjadi perubahan seiring perubahan bentuk produk yang disertai pengembangan, modivikasi, variasi, penyederhanaan, dan sedikit penambahan. Perubahan signifikan terjadi pada penghilangan makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya. Motif kain tapis sekarang hanya dilihat dari aspek keindahannya semata.

Perubahan yang terjadi pada kain tapis Lampung terjadi seiring dengan perubahan masyarakat pendukungnya, seperti adanya interpretasi dan persepsi masyarakat Lampung terhadap kain tapis, keterbukaan masyarakat lampung terhadap berbagai inovasi, ide-ide, dan kreasi baru yang tercermin pada sifat dan watak nemui nyimah, dan nengah nyappur. Kecintaan, keinginan, dan sikap progresif para perajin kain tapis yang didukung bakat seni dan keterampilan teknik yang diturunkan generasi sebelumnya untuk melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan seni kerajinan kain tapis.

            Faktor eksternal yang mendorong terjadinya perubahan seni kerajinan kain tapis Lampung, selain berkembangnya dunia pariwisata daerah Lampung adalah adanya lembaga atau institusi pemerintah maupun swasta di Lampung yang berusaha mengembangkan seni kerajinan kain tapis dengan melakukan berbagai usaha, seperti program pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan untuk dapat meningkatkan kemampuan teknis, jiwa kewirausahaan, maupun manajemen usaha para perajin kain tapis. Pemerintah juga telah mengambil kebijakan penting dengan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan pemasaran.

Pembubaran lembaga adat Lampung (kepunyimbangan) oleh pemerintah juga ikut mendorong perubahan yang terjadi pada kain tapis. Dengan berubahnya struktur pemerintahan, maka lembaga dan organisasi sosial dalam masyarakat adat tidak lagi memiliki legitimasi. Lembaga adat (kepunyimbangan) yang berfungsi sebagai pagar sekaligus kontrol dalam rangka melindungi stabilitas atau equilibrium masyarakat tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Namun akan lebih baik seandainya keputusan pemerintah tentang penghapusan lembaga adat ditinjau kembali, karena adanya lembaga tersebut akan semakin memperkokoh eksistensi kain tapis Lampung.

Selain dampak sosial budaya yang berhasil melestarikan dan mempertahankan kelangsungan seni kerajinan kain tapis, perubahan yang terjadi pada kain tapis juga mempunyai dampak sosial ekonomi. Dampak perubahan kain tapis dari aspek ekonomi sudah jelas pada meningkatnya penghasilan para perajin.